
LCR dimaksudkan untuk memastikan
bahwa bank memiliki cukup stok HQLA yang tidak terikat (unencumbered HQLA) yang
terdiri dari kas dan/atau aset-aset yang dapat dengan mudah dilikuiditas untuk
kebutuhan likuiditas dalam periode 30 hari kalender skenario stres.
Ketika nilai LCR rendah maka bank tidak dapat
memenuhi kewajibannya dengan tepat waktu dikarenakan kurangnya modal yang
mencukupi, sehingga ketika nilai LCR rendah dapat dianggap bahwa kinerja
keuangan bank kurang baik. Semakin banyak nasabah yang didapat bank maka bank
akan memperoleh banyak profit dari hasil penyaluran kredit. Sehingga bank
memiliki modal yang cukup untuk memenuhi likuiditasnya. Kemudian modal tersebut
digunakan kembali untuk menyalurkan kredit kepada nasabah yang kemudian akan
menghasilkan profit. Hal ini menjadi landasan apabila nilai LCR tinggi maka
nilai ROE juga tinggi karena besarnya profit yang diperoleh dari jumlah modal
yang dimiliki bank.
NSFR (Net Stable Funding Ratio)

Net Stable Funding Ratio (NSFR)
bertujuan untuk mengurangi risiko likuiditas terkait sumber pendanaan untuk
jangka waktu yang lebih panjang dengan mensyaratkan Bank mendanai aktivitas
dengan sumber dana stabil yang memadai dalam rangka memitigasi risiko kesulitan
pendanaan pada masa depan.
(POJK No.50/POJK.03/2017) Bank wajib
memelihara pendanaan stabil yang memadai yang dihitung dengan menggunakan Net
Stable Funding Ratio (NSFR) dan ditetapkan paling rendah 100% (seratus persen).
NSFR adalah perbandingan antara pendanaan stabil yang tersedia (available
stable funding/ASF) dengan pendanaan stabil yang diperlukan (required stable
funding/RSF).
ASF (𝐴𝑣𝑎𝑖𝑙𝑎𝑏𝑙𝑒 𝑎𝑚𝑜𝑢𝑛𝑡 𝑜𝑓 𝑠𝑡𝑎b𝑙𝑒 𝑓𝑢𝑛𝑑𝑖𝑛g)
Jumlah liabilitas dan ekuitas yang stabil
selama periode 1 (satu) tahun untuk mendanai aktivitas Bank.
RSF (𝑅𝑒𝑞𝑢𝑖𝑟𝑒𝑑 𝑎𝑚𝑝𝑢𝑛𝑡 𝑜𝑓 𝑠𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 𝑓𝑢𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔)
Jumlah aset dan transaksi rekening
administratif yang perlu didanai oleh pendanaan stabil.
CAR (Capital Adequacy Ratio)

Rasio
kecukupan modal yang menunjukkan kemampuan perbankan dalam menyediakan dana
yang digunakan untuk mengatasi kemungkinan risiko kerugian.
Penyediaan modal minimum sebagaimana POJK NOMOR 11 /POJK.03/2016 ditetapkan paling rendah :
Penyediaan modal minimum sebagaimana POJK NOMOR 11 /POJK.03/2016 ditetapkan paling rendah :
- 8% (delapan persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bagi Bank dengan profil risiko Peringkat 1;
- 9% (sembilan persen) sampai dengan kurang dari 10% (sepuluh persen) dari ATMR bagi Bank dengan profil risiko Peringkat 2;
- 10% (sepuluh persen) sampai dengan kurang dari 11% (sebelas persen) dari ATMR bagi Bank dengan profil risiko Peringkat 3; atau
- 11% (sebelas persen) sampai dengan 14% (empat belas persen) dari ATMR bagi Bank dengan profil risiko Peringkat 4 atau Peringkat 5.
ROA (Return On Assets)

ROA penting bagi bank karena ROA digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan asset yang dimilikinya, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan asset.
ROE (Return on Equity)



Tingkat kolektibilitas kredit yang
dianggap bermasalah yang masuk dalam kriteria kurang lancar, diragukan dan
macet, jumlah kredit bermasalah tersebut lalu dibandingkan dengan total kredit
yang disalurkan. (PBI) menetapkan bahwa standar rasio NPL/NPF adalah maksimal 5% (17/11/PBI/2015). Semakin tinggi rasio ini maka semakin buruk likuiditas bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalah semakin besar. Non Performing Loan (NPL) ini menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank. Jika kredit bermasalah dalam suatu bank terjadi, maka bank dapat dikatakan tidak likuid.
Mengukur kemampuan manajemen bank
dalam mengelola aktiva produktifnya untuk menghasilkan pendapatan bunga bersih.
Pendapatan bunga bersih ini diperoleh dari pendapatan bunga dikurangi beban
bunga. NIM mencerminkan kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva
produktifnya dalam menghasilkan pendapatan bunga bersih, dimana hal tersebut
dapat mempengaruhi keuntungan yang diperoleh bank. Rasio ini menggambarkan tingkat
keuntungan (laba) yang diperoleh bank dibandingkan dengan pendapatan yang
diterima dari kegiatan operasionalnya.
Rumus Net Interest Margin (NIM) menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011 adalah sebagai berikut:
Fungsi :
· Semakin besar rasio ini semakin baik
kinerja bank dalam menghasilkan pendapatan bunga. Namun harus dipastikan bahwa
ini bukan karena biaya intermediasi yang tinggi, asumsinya pendapatan bunga
harus ditanamkan kembali untuk memperkuat modal bank.
· Semakin besar rasio ini maka semakin
meningkat pula pendapatan bunga atas aktiva produktif yang dikelola bank,
sehingga kemungkinan bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil.
· Semkin besar rasio ini maka akan
meningkatkan pendapatan bunga atas aktiva produktif yang dikelola bank,
sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah akan semakin kecil dan
kinerja bank tersebut akan semakin baik.
NIM (Net Intererest Margin)

Rasio perbandingan antara biaya
operasional dengan pendapatan operasional. Semakin besar BOPO maka akan semakin
kecil atau menurun kinerja keuangan perbankan. Begitu juga sebaliknya, jika
BOPO semakin kecil, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan bank semakin
meningkat atau membaik. Nilai rasio BOPO yang ideal berada antara 50-75% sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia. (LPIP OJK Triwulan II, 2017).Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia (BI), standar BOPO adalah dibawah 92%. Semakin rendah rasio BOPO maka akan menunjukkan tingkat efisiensi suatu bank tersebut dalam mengendalikan biaya operasionalnya.