Wednesday, 12 June 2019

Hubungan Antara CAR, NPL, LDR, NIM, BOPO, NSFR & Profitability

1. Hubungan Antara CAR dan Profitabilitas Perbankan
Capital Adequacy Ratio adalah rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang diberikan (Dendawijaya, 2009:121). Berdasarkan ketentuan bank Indonesia, bank yang dinyatakan termasuk bank yang sehat harus memiliki CAR paling sedikit 8% dari ATMR. Hal ini didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh BIS (Bank for International Settlements). Semakin besar Capital Adquacy Ratio (CAR)  maka keuntungan bank juga semakin besar. Dengan kata lain semakin kecil risiko suatu bank maka semakin besar keuntungan yang diperoleh bank. Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

2. Hubungan Antara NPL dan Profitabilitas Perbankan
Non Performing Loan menunjukkan bahwa kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank. Sehingga semakin tinggi rasio ini maka akan semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalah semakin besar maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin besar. Sehingga jika semakin besar Non Performing Loan (NPL) akan mengakibatkan menurunnya Return On Assets, yang juga berarti kinerja keuangan bank menurun.

3. Hubungan Antara LDR dan Profitabilitas Perbankan
Loan to Deposit Ratio (LDR) digunakan untuk mengukur seberapa besar kemampuan bank dalam memenuhi permintaan kredit yang diajukan tanpa terjadi penangguhan. Standar yang digunakan Bank Indonesia untuk rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah 80% hingga 110%. Jika angka rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) suatu bank berada pada angka di bawah 80% (misalkan 70%), maka dapat disimpulkan bahwa bank tersebut hanya dapat menyalurkan sebesar 70% dari seluruh dana yang berhasil dihimpun. Jika rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) bank mencapai lebih dari 110%, berarti total kredit yang diberikan bank tersebut melebihi dana yang dihimpun. Semakin tinggi Loan to Deposit Ratio (LDR) menunjukkan semakin riskan kondisi likuiditas bank, sebaliknya semakin rendah Loan to Deposit Ratio (LDR) menunjukkan kurangnya efektifitas bank dalam menyalurkan kredit sehingga hilangnya kesempatan   bank untuk memperoleh laba. Perubahan Loan to Deposit Ratio (LDR) bank yang berada pada standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (80% - 110%), maka perubahan laba yang diperoleh oleh bank tersebut akan meningkat (dengan asumsi bahwa bank tersebut mampu menyalurkan kreditnya dengan efektif).

4. Hubungan Antara NIM dan Profitabilitas Perbankan
Net Interest Margin (NIM) digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva produktifnya untuk menghasilkan pendapatan bunga bersih. Pendapatan bunga bersih diperoleh dari pendapatan bunga dikurangi beban bunga. Rasio ini menunjukkan kemampuan bank dalam memperoleh pendapatan operasionalnya dari dana yang ditempatkan dalam bentuk pinjaman (kredit). Semakin tinggi NIM menunjukkan semakin efektif bank dalam penenmpatan aktiva produktif dalam bentuk kredit. Standar yang ditetapkan Bank Indonesia untuk rasio NIM adalah 6% keatas. Semakin besar rasio ini maka semakin meningkat pendapatan bunga atas aktiva produktif yang dikelola bank sehingga kemungkinan bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin besar Net Interest Margin (NIM) suatu perusahaan, maka semakin besar pula Return On Asset perusahaan tersebut, yang berarti kinerja keuangan tersebut semakin membaik atau meningkat.

5. Hubungan Antara BOPO dan Profitabilitas Perbankan
BOPO merupakan rasio biaya operasional digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya (Dendawijaya, 2009:116). Rasio BOPO yang semakin meningkat mencerminkan kurangnya kemampuan bank dalam menekan biaya operasionalnya yang  dapat menimbulkan kerugian karena bank kurang efisien dalam mengelola usahanya. Rasio yang sering disebut rasio efisien ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin kecil BOPO berarti semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan oleh bank yang bersangkutan. Begitu pula sebaliknya semakin besar BOPO berarti semakin kurang efisien biaya operasional yang dikeluarkan oleh bank yang bersangkutan.

6 Hubungan Antara NSFR dan Profitabilitas Perbankan
Net Stable Funding Ratio (NSFR) yang bertujuan mengurangi risiko likuiditas terkait sumber pendanaan untuk jangka waktu yang lebih panjang dengan mensyaratkan Bank mendanai aktivitas dengan sumber dana stabil yang memadai dalam rangka memitigasi risiko kesulitan pendanaan pada masa depan. NSFR juga bertujuan untuk membatasi ketergantungan pada pendanaan korporasi jangka pendek, mendorong penilaian risiko likuiditas terkait pendanaan yang lebih baik untuk seluruh posisi neraca dan rekening administratif, dan mendorong pendanaan yang stabil. Struktur pendanaan yang stabil bertujuan untuk mengurangi masalah pada sumber pendanaan Bank yang dapat mengganggu posisi likuiditas Bank dan berpotensi menyebabkan terjadinya stres sistemik yang lebih luas.
NSFR adalah perbandingan antara pendanaan stabil yang tersedia (available stable funding/ASF) dengan pendanaan stabil yang diperlukan (required stable funding/RSF). Formula yang digunakan dalam perhitungan adalah sebagai berikut:


  • ASF adalah jumlah liabilitas dan ekuitas yang stabil selama periode 1 (satu) tahun untuk mendanai aktivitas Bank.
  • RSF adalah jumlah aset dan transaksi rekening administratif yang perlu didanai oleh pendanaan stabil.

Secara umum, jika bank yang tidak memiliki dana yang stabil dan murah harus menggunakan aset likuid atau lebih banyak pendanaan eksternal untuk memenuhi permintaan dana, dan dengan demikian meningkatkan biaya pendanaannya. Seperti yang terlihat, hubungan antara biaya dan laba secara langsung menyiratkan bahwa semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan bank dalam memperoleh dana, semakin rendah pula keuntungannya. Hal ini dikonfirmasi oleh Pasiouras dan Kosmidou (2007) yang berpendapat bahwa bank-bank dengan kebutuhan pendanaan eksternal yang lebih rendah menghadapi biaya yang lebih rendah sehingga menghasilkan profitabilitas yang lebih tinggi. Argumen ini konsisten dengan penelitian sebelumnya oleh Berger (1995), Goddard et. Al. (2004) dan Kosmidou (2008).

Net Stable Funding Ratio (NSFR) vs Nasib Kredit Jangka Panjang

Sejak tahun 2015 Likuiditas menjadi perhatian besar dunia Perbankan, hal ini berkaitan dengan dikeluarkannya consultative paper tentang Liquidity Coverage Ratio dalam kerangka Basel III yang dipublikasikan oleh OJK. Implementasi Basel 3 oleh OJK telah membuat indikator terbaru, yaitu liquidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR).
Liquidity coverage ratio (LCR) yang menghitung ketersediaan aset paling likuid milik bank yang bisa dipakai menutup potensi arus kas keluar bersih yang bisa terjadi dalam skenario tekanan jangka pendek yang akut. Definisi skenario tekanan jangka pendek akut itu nanti akan ditentukan oleh otoritas perbankan
Net stable funding ratio (NSFR) , membandingkan jumlah sumber pendanaan stabil dan berjangka  panjang yang dipakai oleh bank, dengan profil likuiditas dari aset-aset yang didanai serta potensi penarikan dana yang mungkin terjadi dari komitmen dan kewajiban kontinjensi dalam hal ini termasuk dari rekening-rekening off-balancesheet

Perilaku Perbankan :
  • Bank tak boleh lagi lebih besar pasak daripada tiang dalam konteks likuiditas. Kebutuhan likuiditas perbankan harus bisa dipenuhi dari kemampuan internal dan secara fundamental diyakini akan selalu terjaga baik. Tambal sulam sesaat untuk menjaga likuiditas tak akan mendapat tempat lagi.
  • Instrumen risiko likuiditas jangka pendek dengan LCR (Liquidity Coverage Ratio) dan risiko likuiditas jangka panjang dengan NSFR (Net stable funding ratio), keduanya minimum harus mencapai 100 persen. Ketentuan mengenai LCR dan NSFR ini akan mendorong bank untuk mengubah strategi kredit maupun pendanaan.
  • Kredit jangka panjang menjadi kurang menguntungkan karena ber-implikasi membutuhkan dana stabil yang disebut dengan Required Stable Funding (RSF).
  • Bank yang mengandalkan deposito korporasi sebagai sumber dana, maka akan terdapat beban tambahan karena dana semacam ini dianggap akan mudah keluar pada saat terjadi krisis, sehingga memerlukan tambahan aset likuid yang memberikan negative spread bagi bank.
  • Bank akan berlomba-lomba unggul pada penghimpunan dana ritel dan CASA, dan lebih fokus pada kredit jangka pendek.
Efek Penerapan NSFR :
  • Bank yang menjalankan core bisnis kreditnya untuk jangka waktu panjang, seperti Bank yang fokus ke KPR dan kredit konsumtif kepada karyawan/pegawai negeri yang memiliki jangka waktu maksimal 10 tahun dan malahan ada beberapa bank yang memberikan jangka waktu  25 tahun.
  • Bank harus bersiap-siap untuk melakukan kesiapan likuiditas jangka panjang agar NFSR bisa terjaga. Jika tidak mau terbebani dan yang akan berefek negatif atau menambah asset liquid serta mulai merubah pola bisnis ke arah kredit jangka pendek.
Penerapan LCR dan NFSR memang diaplikasikan sesuai dengan kategori Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU). Uji coba penerapan LCR dan NFSR dimulai untuk Bank BUKU 4 dan KCBA  sejak Januari 2015 (tahap 1), Bank BUKU 3 melakukan uji coba pada bulan Juli 2015 (tahap 2), dan akan ready untuk digunakan pada tahun 2018 dan 2019.

Kewajiban Pemenuhan Rasio Pendanaan Stabil Bersih atau net stable funding ratio (NSFR)

NSFR secara sederhana adalah perbandingan antara pendanaan stabil yang tersedia atau available stable funding (ASF) dengan pendanaan stabil yang diperlukan alias required stable funding (RSF).
  • ASF adalah jumlah liabilitas dan ekuitas yang stabil untuk mendanai aktivitas bank selama periode 1 tahun.
  • RSF adalah jumlah aset dan transaksi rekening administratif yang perlu didanai oleh pendanaan stabil.
  • Rasio yang diwajibkan OJK adalah minimal 100%.

Aturan ini bertujuan untuk :
  • Memastikan bank memelihara pendanaan stabil yang disesuaikan dengan komposisi dan rekening administratif.
  • Membatasi ketergantungan bank atas sumber pendanaan jangka pendek yang berasal dari korporasi.

Implikasi :
  • Memantau persaingan antar bank dalam memburu dana pihak ketiga (DPK) guna menjaga likuiditas setiap waktu dan tidak hanya mengandalkan special rate ketika akan memperkuat likuiditas.
  • Mengawasi kemampuan likuiditas lebih detail.

Sumber : Kontan Senin, 20 Maret 2017 (Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang)

Monday, 10 June 2019

Biaya Produksi

A. Konsep Biaya Produksi
Biaya dalam pengertian produksi ialah semua “beban” yang harus ditanggung oleh produsen untuk menghasilkan suatu produksi. Biaya produksi adalah semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor - faktor produksi dan bahan-bahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang - barang yang diproduksikan perusahaan tersebut. Semua yang dipakai adalah merupakan pengorbanan dari proses produksi dan juga berfungsi sebagai ukuran untuk menentukan harga pokok barang.
Biaya produksi dapat meliputi unsur-unsur sebagai berikut: 
  1. Bahan baku atau bahan dasar termasuk bahan setengah jadi. 
  2. Bahan-bahan pembantu atau penolong. 
  3. Upah tenaga kerja dari tenaga kerja kuli hingga direktur. 
  4. Penyusutan peralatan produksi. 
  5. Uang modal, sewa. 
  6. Biaya penunjang seperti biaya angkut, biaya administrasi, pemeliharaan, biaya listrik, biaya keamanan dan asuransi. 
  7. Biaya pemasaran seperti biaya iklan. 
  8. Pajak.

B. Jenis-jenis Biaya Produksi
a. Biaya bahan baku (direct material cost)
Bahan secara langsung digunakan dalam produksi untuk mewujudkan suatu macam produk jadi yang siap untuk dipasarkan.
b. Biaya tenaga kerja langsung (direct labour cost)
Biaya tenaga kerja yang langsung ditempatkan dan didayagunakan dalam menangani kegiatan-kegiatan proses produk jadi secara langsung diterjunkan dalam kegiatan produksi menangani segala peralatan produksi dan usaha itu dapat terwujud.
c. Biaya overhead pabrik (factory overhead cost)
Bahan tidak langsung, tenaga kerja tidak langsung dan biaya pabrik lainnya, seperti ; biaya pemeliharaan pabrik, yang tidak secara mudah didefinisikan atau dibebankan pada suatu pekerjaan.
Biaya produksi yang di keluarkan setiap perusahaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
  • Biaya Eksplisit : Semua pengeluaran untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan input lain yang dibayar melalui pasaran (pembayaran berupa uang).
  • Biaya Implisit : Biaya Implisit adalah biaya yang tidak terlihat secara langsung, misalnya biaya penyusutan barang modal.

Teori biaya produksi menurut jangka waktunya, dibedakan menjadi 2 yakni:
1. Biaya Jangka Pendek :
   - Dalam hubungannya dengan tujuan biaya
a. Biaya Langsung (Direct Cost)
Biaya Langsung merupakan biaya-biaya yang dapat diidentifikasi secara langsung pada suatu proses tertentu ataupun output tertentu. Sebagai contoh adalah biaya bahan baku langsung dan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh perusahaan. Begitu juga dengan supervise, listrik, dan biaya overhead lainnya yang dapat langsung ditelusuri pada departemen tertentu.
b. Biaya Tidak Langsung (Indirect Cost)
Biaya Tidak Langsung merupakan biaya-biaya yang tidak dapat diidentifikasi secara langsung pada suatu proses tertentu atau output tertentu, misalnya biaya lampu penerangan dan Air Conditioning pada suatu fasilitas.
- Dalam hubungannya dengan volume kegiatan
a. Biaya Tetap Total (Total Fixed Cost/FC) TC = FC + VC atau FC = TC – VC
Biaya yang tetap harus dikeluarkan walaupun perusahaan tidak berproduksi. Biaya tetap merupakan biaya setiap unit waktu untuk pembelian input tetap.
b. Biaya Variabel Total (Total Variabel Cost/VC) VC = TC – FC
Biaya yang dikeluarkan apabila berproduksi dan besar kecilnya tergantung pada banyak sedikitnya barang yang diproduksi. Semakin banyak barang yang diproduksi biaya variabelnya semakin besar, begitu juga sebaliknya.
c. Biaya Total (Total Cost/TC) TC = FC + VC
Jumlah keseluruhan biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan yang terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Dengan kata lain, biaya total adalah jumlah biaya tetap dan biaya variabel.
d. Biaya Tetap Rata-Rata (Average Fixed Cost/AFC) AFC = FC / Q
Biaya Tetap Rata-Rata adalah hasil bagi antara biaya tetap total dan jumlah barang yang dihasilkan.
e. Biaya Variabel Rata-Rata (Average Variable Cost/AVC) AVC = VC / Q
Biaya variabel rata-rata adalah biaya variabel satuan unit produksi.
f. Biaya Total Rata-Rata (Average Cost/AC) AC = TC/Q atau (VC+FC)/Q jadi AC = AVC + AFC
Biaya total rata-rata yang dapat dihitung dari Total Cost dibagi banyaknya jumlah barang tertentu (Q).
g. Biaya Marjinal (Marginal Cost/MC) MC = dTC / dQ atau MC = TCn – TCn-1
Tambahan biaya yang disebabkan karena tambahan satu unit produksi. Biaya marginal diperoleh dari selisih Total Cost dan selisih kuantitas dari barang yang diproduksi.

2. Biaya Jangka Panjang
Dalam jangka panjang semua biaya adalah variabel. Karena itu biaya yang relevan dalam jangka panjang adalah biaya total, biaya variabel, biaya rata-rata dan biaya marjinal. Perubahan biaya total adalah sama dengan perubahan biaya variabel dan sama dengan biaya marjinal. Cara meminimumkan biaya dalam jangka panjang dapat memperluas kapasitas produksinya, ia harus menentukan besarnya kapasitas pabrik (plan size) yang akan meminimumkan biaya produksi dalam analisis ekonomi kapasitas pabrik.
Faktor yang akan menentukan kapasitas produksi yang digunakan yaitu tingkat produksi yang akan dicapai serta sifat dari pilihan kapasitas pabrik yang tersedia. sbb :
a. Biaya Rata-Rata Jangka Panjang (Long-run Average Cost/AC) LAC = LTC/Q
Biaya total jangka panjang adalah biaya total dibagi jumlah output.
b. Biaya Marginal Jangka Panjang (Long-run Marginal Cost/LMC) LMC = ∂LTC/ ∂Q
Biaya marginal jangka panjang adalah tambahan biaya karena menambah produksi sebanyak satu unit. Perubahan biaya total adalah sama dengan perubahan biaya variabel.
c. Biaya Total Jangka Panjang (Long-run Total Cost/LTC) LTC = LVC
Biaya total jangka panjang adalah biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi seluruh output dan semuanya bersifat variabel.

C. Faktor-Faktor Biaya Produksi
Faktor produksi adalah segala sesuatu yang dibutuhkan untuk memproduksi barang dan jasa. Faktor produksi yang bisa digunakan dalam proses produksi yaitu :
a. Sumber Daya Alam
Segala sesuatu yang disediakan oleh alam yang dapat dimanfaatkan manusia/ persahaan untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber daya alam di sini meliputi segala sesuatu yang ada di dalam bumi.
b. Sumber Daya Manusia (Tenaga Kerja Manusia)
Segala kegiatan manusia baik jasmani maupun rohani yang dicurahkan dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jas.
c. Sumber Daya Modal
Modal menurut pengertian ekonomi adalah barang atau hasil produksi yang digunakan untuk menghasilkan produk lebih lanjut.
d. Sumber Daya Pengusaha
Sumber daya ini disebut juga kewirausahaan. Pengusaha berperan mengatur dan mengkombinasikan faktor-faktor produksi dalam rangka meningkatkan kegunaan barang atau jasa secara efektif dan efisien.
D. Skala Ekonomi & Tidak Ekonomi
a. Skala Ekonomi
Menurut Sadono Sukirno skala kegiatan produksi jangka panjang dikatakan bersifat mencapai skala ekonomi apabila pertambajhan produksi menyebabkan biaya produksi rata-rata menjadi semakin rendah. Produksi yang semakin tinggi menyebabkan perusahaan menambah kapasitas produksi, dan pertambahan kapsitas ini menyebabkan kegiatan memproduksi bertambah efisien.Ini dicerminkan oleh biaya produksi yang bertambah rendah. Faktor penting yang menimbulkan skala ekonomi sbb :
>> Spesialisasi faktor-faktor produksi.
Dalam perusahaan yang besar dilakukan spesialisasi. Setiap pekerja diharuskan melakukan suatu pekerjaan tertentu saja, dan ini menmbah keterampilan mereka. Produktifitas mereka bertambah tinggi dan akan menurunkan biaya per unit.
>> Pengurangan harga bahan mentah dan kebutuhan produksi lain. 
Makin tinggi produksi, makin banyak bahan-bahan mentah dan peralatan produksi yang digunakan. Keadaan ini menyebabkan biaya per unit akan menjadi semakin murah.
>> Memungkinkan produk sampingan diproduksi.
Di dalam perusahaan adakalanya terdapat bahan-bahan yang terbuang (waste). Tetapi kalau perusahaan memiliki barang residu yang cukup banyak, barang residu ini dapat diproses menjadi barang yang diproduksi secara sampingan. Kegiatan yang baru ini akan menurunkan biaya per unit dari keseluruha operasi perusahaan.
>> Mendorong perkembangan usaha lain.
Kalau suatu perusahaan telah menjadi sangat besar, timbul permintaan yang cukup ekonomis untuk mengembangkan kegiayan di bidang usaha lain yang menghasilkan barang-barang atau fasilitas yang dibutuhakan perusahaan besar tersebut. Di samping itu perusahaan –perusahaan yang menyediakan jasa-jasa kepada persusahaan tersebut akan berkembang. Berbagai perkembangan ini akan mengurangi biaya per unit.
b. Skala Tidak Ekonomi
Wujudnya skala tidak ekonomi terutama disebabkan oleh organisasi perusahaan yang sudah menjadi sangat besar sekali sehingga menimbulkan kerumitan di dalam mengatur dan memimpinnya. Perusahaan yang terus-menerus membesar biasanya berarti jumlah tenaga kerja yang digunakan meliputi beribu-ribu orang, dan mempunyai pabrik dan cabang di berbagai tempat. Sebagai akibatnya kegiatan dan organisasi perusahaan itu sudah menjadi sangat kompleks. Tidak mungkin lagi ia dipimpin oleh seorang manajer saja. Ini megakibatkan pengambilan keputusan dan kebijakan perusahaan yang sangat kaku dan memakan waktu yang lama untuk merumuskannya. Keadaan ini mengurangi efisiensi kegiatan perusahaan, dan menyebabkan biaya produksi rata-rata semakain tinggi.

Pembentukan Risiko Terkait Penyaluran Kredit


Lao Tzu

  Kata Bijak Kehidupan Lakukan hal-hal sulit selagi masih mudah & Lakukan hal-hal besar saat masih kecil. Perbuatan Besar berawal dari p...